PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal
pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus,
termasuk derajat kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat
kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan
kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan
pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan
obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
d. bahwa mengimpor, mengekspor,
memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena
sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah
bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut
f. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976
tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972
yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3673);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Prekursor
Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir
dalam Undang-Undang ini.
3. Produksi
adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan
Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi
dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas
dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
4. Impor
adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah
Pabean.
5. Ekspor
adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah
Pabean.
6. Peredaran
Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
7. Surat
Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
8. Surat
Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
9. Pengangkutan
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari
satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun.
10. Pedagang
Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi,
termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
11. Industri
Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika.
12. Transito
Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan
melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
13. Pecandu
Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
14. Ketergantungan
Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan
efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara
tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15. Penyalah
Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
16. Rehabilitasi
Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan
pecandu dari ketergantungan Narkotika.
17. Rehabilitasi
Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
18. Permufakatan
Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat
untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,
menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu
organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
Narkotika.
19. Penyadapan
adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan
cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang
dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
20. Kejahatan
Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang
terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk
suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak
pidana Narkotika.
21. Korporasi
adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
22. Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II
DASAR,
ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang
tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Undang-Undang
tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan:
a. keadilan;
b. pengayoman;
c. kemanusiaan;
d. ketertiban;
e. perlindungan;
f. keamanan;
g. nilai-nilai
ilmiah; dan
h. kepastian
hukum.
Pasal 4
Undang-Undang
tentang Narkotika bertujuan:
a. menjamin
ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah,
melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu
Narkotika.
BAB III
RUANG
LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan
Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
(1) Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal digolongkan ke dalam:
a. Narkotika
Golongan I;
b. Narkotika
Golongan II; dan
c. Narkotika
Golongan III.
(2) Penggolongan
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan
mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
(1) Narkotika
Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam
jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik,
serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas
rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB IV
PENGADAAN
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
(1) Menteri
menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk
keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun
rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
(3) Rencana kebutuhan
tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit
secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1) Narkotika
untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri,
dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 11
(1) Menteri
memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi
tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(2) Menteri
melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas
Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
(1) Narkotika
Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi,
kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan
produksi Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan
dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian
Ketiga
Narkotika
untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
(1) Lembaga
ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian
dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat
memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan
penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian
Keempat
Penyimpanan
dan Pelaporan
Pasal 14
(1) Narkotika
yang berada dalam penguasaan Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
disimpan secara khusus.
(2) Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan
berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda
administratif;
d. penghentian
sementara kegiatan; atau
e. pencabutan
izin.
BAB V
IMPOR DAN
EKSPOR
Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan
Impor
Pasal 15
(1) Menteri
memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara
yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk melaksanakan impor Narkotika.
(2) Dalam
keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari
perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan impor Narkotika.
Pasal 16
(1) Importir
Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali
melakukan impor Narkotika.
(2) Surat
Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana
kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
(3) Surat
Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya
dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Surat
Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pemerintah negara pengekspor.
Pasal 17
Pelaksanaan
impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor
dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan
Ekspor
Pasal 18
(1) Menteri
memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara
yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
(2) Dalam
keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari
perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan ekspor Narkotika.
Pasal 19
(1) Eksportir
Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri untuk setiap
kali melakukan ekspor Narkotika.
(2) Untuk
memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan
ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor
dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 21
Impor dan
ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean
tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 22
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor
dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi
pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau
diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 24
(1) Setiap
pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat
persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika
yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap
pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor
Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat persetujuan
impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di negara pengimpor.
Pasal 25
Penanggung
jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik
Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan
ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di negara pengekspor.
Pasal 26
(1) Eksportir
Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan
dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung
jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang
yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan
Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung
jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas
kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau
Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 27
(1) Narkotika
yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau
di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan
oleh pengirim.
(2) Nakhoda
membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda
dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di
pelabuhan tujuan wajib melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada
kepala kantor pabean setempat.
(4) Pembongkaran
muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan
disaksikan oleh pejabat bea dan cukai.
(5) Nakhoda
yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor
atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara,
melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera
melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 28
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk
pengangkutan udara.
Bagian Keempat
Transito
Pasal 29
(1) Transito
Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor
Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor
dan pengimpor.
(2) Dokumen
atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan
dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan
alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;
b. jenis,
bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
c. negara
tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap
terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya
dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah
negara pengekspor Narkotika;
b. pemerintah
negara pengimpor Narkotika; dan
c. pemerintah
negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan
kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap
kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah
tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah
melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito
Narkotika.
Pasal 34
(1) Importir
Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang diimpornya disaksikan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri paling
lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di
perusahaan.
(2) Berdasarkan
hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil
penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI
PEREDARAN
Bagian
Kesatu Umum
Pasal 35
Peredaran
Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
(1) Narkotika
dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari
Menteri.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam
bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
(3) Untuk
mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk
obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika
Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun
sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap
kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 39
(1) Narkotika
hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(2) Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus
penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
(1) Industri
Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang
besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d. rumah
sakit.
(2) Pedagang
besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang
besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah
sakit; dan
e. lembaga
ilmu pengetahuan;
(3) Sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. rumah
sakit pemerintah;
b. pusat
kesehatan masyarakat; dan
c. balai
pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika
Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada
lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 43
(1) Penyerahan
Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah
sakit;
c. pusat
kesehatan masyarakat;
d. balai
pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek
hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah
sakit;
b. pusat
kesehatan masyarakat;
c. apotek
lainnya;
d. balai
pengobatan;
e. dokter;
dan
f. pasien.
(3) Rumah
sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan
Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan
praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong
orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
atau
c. menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika
dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
LABEL DAN
PUBLIKASI
Pasal 45
(1) Industri
Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat
jadi maupun bahan baku Narkotika.
(2) Label
pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan
bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.
(3) Setiap
keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus lengkap
dan tidak menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika
hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak
ilmiah farmasi.
Pasal 47
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB VIII
PREKURSOR
NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan
prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a. melindungi
masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
b. mencegah
dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
c. mencegah
terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor
Narkotika
Pasal 49
(1) Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor
Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
(2) Penggolongan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan
mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri
terkait.
Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
(1) Pemerintah
menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Rencana
kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah
persediaan, perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor Narkotika secara
nasional.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51
(1) Pengadaan
Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
(2) Pengadaan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan
untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 52
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IX
PENGOBATAN
DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Pengobatan
Pasal 53
(1) Untuk
kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan
Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
Narkotika untuk dirinya sendiri.
(3) Pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa
Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh
secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu
Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
(1) Orang tua
atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
(2) Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh
keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan
mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Rehabilitasi
medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Lembaga
rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain
melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika
dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi
sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah
maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan
Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
BAB X
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal 60
(1) Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:
a. memenuhi
ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah
penyalahgunaan Narkotika;
c. mencegah
generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk
dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum
sekolah dasar sampai lanjutan atas;
d. mendorong
dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan
kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
(1) Pemerintah
melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Narkotika
dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat
potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. evaluasi
keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan
ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi;
dan
i. penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 62
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 63
Pemerintah
mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara
bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka
pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan
kepentingan nasional.
BAB XI
PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN
Bagian Kesatu
Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Pasal 64
(1) Dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan
Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
(2) BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 65
(1) BNN
berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia.
(2) BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) BNN provinsi
berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN
provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3)
merupakan instansi vertikal.
Pasal 67
(1) BNN
dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan
beberapa deputi.
(2) Deputi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi urusan:
a. bidang
pencegahan;
b. bidang
pemberantasan;
c. bidang
rehabilitasi;
d. bidang
hukum dan kerja sama; dan
e. bidang
pemberdayaan masyarakat.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNN diatur dengan
Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 68
(1) Kepala
BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Syarat
dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 69
Untuk
dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga
negara Republik Indonesia;
b. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat
jasmani dan rohani;
d. berijazah
paling rendah strata 1 (satu);
e. berpengalaman
paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua)
tahun dalam pemberantasan Narkotika;
f. berusia
paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
g. cakap,
jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak
pernah melakukan perbuatan tercela;
i. tidak
menjadi pengurus partai politik; dan
j. bersedia
melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang
Pasal 70
BNN
mempunyai tugas:
a. menyusun
dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. berkoordinasi
dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
d. meningkatkan
kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e. memberdayakan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f. memantau,
mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan
kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna
mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan
laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan
administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat
laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71
Dalam
melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 72
(1) Kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
(2) Penyidik
BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala
BNN.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala
BNN.
BAB XII
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 73
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 74
(1) Perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk
perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.
(2) Proses
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan
eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus
dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
Dalam
rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
a. melakukan
penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa
orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. memanggil
orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
d. menyuruh
berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
e. memeriksa,
menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa
surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. menangkap
dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. melakukan
interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di
seluruh wilayah juridiksi nasional;
i. melakukan
penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
j. melakukan
teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
k. memusnahkan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. melakukan
tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau
tes bagian tubuh lainnya;
m. mengambil
sidik jari dan memotret tersangka;
n. melakukan
pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
o. membuka
dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan
lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. melakukan
penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
q. melakukan
uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
r. meminta
bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
s. menghentikan
penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 76
(1) Pelaksanaan
kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan
paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam.
Pasal 77
(1) Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti
permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari
ketua pengadilan.
(3) Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama.
(4) Tata cara
penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
(1) Dalam
keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat
dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
(2) Dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta
izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 79
Teknik
penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis
dari pimpinan.
Pasal 80
Penyidik
BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:
a. mengajukan
langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan
yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan
kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang
diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. untuk
mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk
mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
e. meminta secara
langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke
luar negeri;
f. meminta
data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan
atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada
hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta
bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Pasal 81
Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 82
(1) Penyidik
pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(2) Penyidik
pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan
kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
a. memeriksa
kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa
orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memeriksa
bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
e. menyita
bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
f. memeriksa
surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
g. meminta
bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
h. menangkap
orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik
dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 84
Dalam
melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu
pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam
melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika,
penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 86
(1) Penyidik
dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data
rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan,
suara, dan/atau gambar;
2. peta,
rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf,
tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87
(1) Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor
Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib
melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan
dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama,
jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan
mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan
mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. tanda
tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan penyitaan yang
dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya
disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88
(1) Penyidik
pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan
Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang
sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita
acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan
negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Penyerahan
barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89
(1) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 bertanggung jawab atas
penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan
pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
(1) Untuk
keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik
pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium
tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di
laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
(1) Kepala
kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan
barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika
tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan.
(2) Barang
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan
pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan
pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
(3) Penyidik
wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali
dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita
acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan
negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Dalam
keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(5) Pemusnahan
barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan Pasal 75 huruf k.
(6) Barang
sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan
kepada Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada
Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan
negeri setempat.
(7) Kepala
BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 92
(1) Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman
Narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh
empat) jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat
disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
(2) Untuk
tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau karena
faktor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari.
(3) Pemusnahan
dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama,
jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan
mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun ditemukan dan dilakukan
pemusnahan;
c. keterangan
mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman Narkotika; dan
d. tanda
tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak terkait lainnya
yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Sebagian
kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
(5) Sebagian
kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(6) Sebagian
kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 93
Selain
untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92
sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke
negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut
untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman
Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau
berdasarkan asas timbal balik.
Pasal 94
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang
sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 95
Proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau
menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.
Pasal 96
(1) Apabila
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terbukti bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91
diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan
diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Besaran
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengadilan.
Pasal 97
Untuk
kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau
terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta
benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya
atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Hakim
berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta
benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari
hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 99
(1) Di sidang
pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang
menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat
diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum
sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 100
(1) Saksi,
pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi
perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Narkotika,
Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor
Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Dalam hal
alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik
pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap
perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh
harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk
kepentingan:
a. pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
b. upaya
rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang
diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
Perampasan
aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan
negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.
Pasal 103
(1) Hakim
yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan
untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa
menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
BAB XIII
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
Masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
Pasal 105
Masyarakat
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106
Hak
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh
pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum
atau BNN;
e. memperoleh
perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta
hadir dalam proses peradilan.
Pasal 107
Masyarakat
dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya
penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 108
(1) Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106
dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.
BAB XIV
PENGHARGAAN
Pasal 109
Pemerintah
memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa
dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 110
Pemberian
penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB XV
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 111
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 113
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Dalam hal
penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 117
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II
tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
(2) Dalam hal
penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II
untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 122
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 124
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 126
(1) Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III
tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III
untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap
Penyalah Guna:
a. Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun;
b. Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan
c. Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Dalam
memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal
Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti
sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
(1) Orang tua
atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(2) Pecandu
Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau
walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
(3) Pecandu
Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah
tidak dituntut pidana.
(4) Rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 129
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
b. memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
c. menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d. membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika.
Pasal 130
(1) Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal-Pasal tersebut.
(2) Selain
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa:
a. pencabutan
izin usaha; dan/atau
b. pencabutan
status badan hukum.
Pasal 131
Setiap
orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1),
dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan
atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,
pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya
ditambah 1/3 (sepertiga).
(3) Pemberatan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20
(dua puluh) tahun.
Pasal 133
(1) Setiap
orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan,
menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur
untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119,
Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan
Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2) Setiap
orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan,
menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur
untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 134
(1) Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua
juta rupiah).
(1)
(2) Keluarga
dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja
tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
Pasal 135
Pengurus
Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Pasal 136
Narkotika
dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam
bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta
barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
Pasal 137
Setiap
orang yang:
a. menempatkan,
membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau
menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau
mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak
maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. menerima
penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian
atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau
uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 138
Setiap
orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 139
Nakhoda
atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 140
(1) Penyidik
pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91
ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 141
Kepala
kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 142
Petugas
laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak
melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau
penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
Saksi
yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 144
(1) Setiap
orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121,
Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3
(sepertiga).
(2) Ancaman
dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 145
Setiap
orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1),
Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia
diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 146
(1) Terhadap
warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak
pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik
Indonesia.
(2) Warga
negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga
negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak
pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara
Republik Indonesia.
Pasal 147
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan
sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan
lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai
tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan
Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan
pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan
II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 148
Apabila
putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat
dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
BAB XVI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Badan
Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN provinsi, dan BNN
kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini;
b. Kepala
Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali ditetapkan sebagai Kepala BNN
berdasarkan Undang-Undang ini;
c. Pejabat
dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika Nasional yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN
berdasarkan Undang-Undang ini;
d. dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur
organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan
Undang-Undang ini;
e. dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur
organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan
dengan Undang-Undang ini.
Pasal 150
Program
dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih
tetap dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud
termasuk dukungan anggarannya.
Pasal 151
Seluruh
aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN
kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 152
Semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 153
Dengan
berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
b. Lampiran
mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I
menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 154
Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 155
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143